Bandar Lampung, Harianduta.com-Pengamat Kebijakan Publik Universitas Lampung (Unila), Dr. Dedy Hermawan menilai dugaan pungutan liar (pungli) di RSUD Abdul Moeloek (RSUDAM) Lampung menunjukkan lemahnya sistem pencegahan korupsi di lingkungan Pemerintah Provinsi Lampung.
Dr. Dedy Hermawan, yang saat ini menjabat dosen FISIP Universitas Lampung, menyebut praktik pungli di RSUDAM merupakan bentuk nyata korupsi yang mencerminkan kegagalan program anti-korupsi pemerintah daerah. “Visi dan misi pemerintahan yang bersih hanya sebatas retorika dan tidak berjalan di lapangan. Program kerja sama dengan KPK, Kejaksaan, Ombudsman, dan APH lainnya hanya manis di depan panggung,” ujar Dr. Dedy, Senin (9/6).
Ia juga mempertanyakan keberadaan Satuan Tugas Saber Pungli yang dinilai hanya formalitas dan “mati suri”. Dr. Dedy menilai lemahnya upaya penegakan dan pengawasan ini akan menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah, termasuk terhadap RSUDAM.
Sebagai solusi, Dr. Dedy menekankan perlunya langkah konkret dan konsisten. Dalam jangka pendek, ia meminta pengusutan tuntas kasus pungli di RSUDAM dan pemberian sanksi tegas kepada pelaku. Sedangkan untuk jangka menengah dan panjang, menurutnya diperlukan kepemimpinan anti-korupsi yang mampu mendorong transparansi layanan berbasis digital, optimalisasi kinerja inspektorat dan Satgas Saber Pungli, serta partisipasi aktif masyarakat dalam pengawasan.
“Jika langkah ini dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan, RSUDAM akan mendapat kembali kepercayaan publik, kualitas layanan meningkat, dan menjadi pintu optimisme bagi hadirnya pemerintahan yang bersih di Provinsi Lampung,” pungkasnya.
Sebelumnya diberitakan, Dosen Fakultas Hukum Universitas Bandar Lampung (UBL), Dr. Benny Karya Limantara, SH., MH., menegaskan bahwa dugaan pungutan liar (pungli) di RSUD Abdul Moeloek (RSUDAM) bukan hanya persoalan administratif, tetapi bisa dijerat dengan berbagai pasal pidana tergantung pada bentuk dan cara perbuatannya dilakukan. “Dugaan pungli (pungutan liar) dapat masuk ke dalam beberapa tindak pidana, tergantung pada konteksnya dan bagaimana perbuatannya dilakukan. Ini bukan hanya isu semata, tetapi dapat menjadi tindak pidana korupsi, pemerasan, suap, kejahatan jabatan, maupun gratifikasi,” kata Dr. Benny.
Ia menjelaskan bahwa pungli yang dilakukan oleh oknum aparat negara atau petugas yang memiliki kewenangan dapat dijerat dengan tindak pidana korupsi. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selain itu, pungli yang dilakukan dengan paksaan atau ancaman dapat dijerat dengan Pasal 368 KUHP tentang pemerasan. “Jika pungli berupa penerimaan imbalan atau hadiah untuk mempercepat proses atau mempermudah urusan, maka itu termasuk suap yang diatur dalam Pasal 12 UU Tipikor,” tegas Dr. Benny.
Lebih lanjut, pungli yang dilakukan oleh pegawai negeri yang memanfaatkan jabatannya untuk keuntungan pribadi juga dapat dijerat dengan Pasal 423 KUHP tentang kejahatan jabatan. Sementara pemberian hadiah atau imbalan yang menjadi gratifikasi termasuk tindak pidana korupsi. “Pungli merupakan tindak pidana yang dapat dijerat dengan berbagai pasal, tergantung bentuk dan konteksnya. Baik sebagai tindak pidana korupsi, pemerasan, suap, kejahatan jabatan, maupun gratifikasi. Penting untuk dipahami bahwa pungli adalah kejahatan yang merugikan masyarakat dan harus diberantas,” ujarnya.
Menanggapi peran organisasi masyarakat sipil dalam mengungkap kasus ini, Dr. Benny memberikan apresiasi kepada Front Aksi Anti Gratifikasi (FAGAS) yang berencana melaporkan dugaan pungli RSUDAM ke Polda Lampung.
“Saya sangat mengapresiasi ketika ada organisasi masyarakat sipil seperti FAGAS yang bisa menjadi penyeimbang terhadap pelaksanaan pemerintahan yang demokratis,” pungkasnya.
Sebelumnya diberitakan, Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek (RSUDAM) memberikan klarifikasi terkait dugaan pungutan liar (pungli) dan pengondisian tenaga kebersihan outsourcing di lingkungan rumah sakit tersebut. Pihak RSUDAM saat ini masih menunggu hasil rekomendasi dari Inspektorat atas temuan tersebut. “Saat ini sudah dilakukan pemeriksaan oleh Inspektorat dan sedang menunggu hasil rekomendasinya,” kata Kepala Bagian Humas RSUDAM, Desy Yuanita, melalui pesan WhatsApp pada Kamis, 5 Juni 2025.
Sebelumnya, Front Aksi Anti Gratifikasi (FAGAS) berencana melaporkan dugaan pungli dan pengondisian tenaga kebersihan outsourcing di RSUDAM ke Polda Lampung. Ketua Umum FAGAS, Fadli Khoms, mengatakan pihaknya sedang menyiapkan data-data laporan yang akan disampaikan ke aparat penegak hukum.
“Kami sedang menyiapkan data-data, mulai dari percakapan komunikasi dan sebagainya. Semua sedang kami susun. Laporan ini akan kami sampaikan langsung ke aparat penegak hukum,” kata Fadli, Kamis (5/6).
Ia menambahkan, laporan ini akan melibatkan Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli) agar masyarakat yang menjadi korban dapat lebih berani membantu mengungkapkan pungli.
FAGAS menyoroti belanja jasa tenaga kebersihan RSUDAM tahun 2025 dengan nilai pagu Rp15,7 miliar. Anggaran tersebut terbagi dalam empat kontrak penyedia, yaitu PT. Gemilang Mulia Sarana, PT. Mega Karya Bersinar, PT. Wawai Putra Gemilang, dan PT. Artha Sarana Cemerlang. Salah satu penyedia disebut mendominasi kontrak terbesar dan disinyalir sebagai “anak emas” PPK yang diduga terkait dengan pejabat lama RSUDAM.
Menurut FAGAS, beberapa pelanggaran oleh penyedia tersebut tidak pernah diberi teguran, salah satunya petugas kebersihan yang tidak mengenakan seragam sejak 1 Maret 2025, padahal sudah menjadi ketentuan PPK.
Rekrutmen tenaga kebersihan RSUDAM sendiri sudah ditetapkan, yaitu PT. MKB dengan 210 pegawai dan PT. GMS dengan 70 pegawai. (**)